Friday, July 30, 2010

CONTOH EVALUASI DIRI SEKOLAH TINGGI

Deskripsi KOM A

Rangkuman Eksekutif Evaluasi Diri Sekolah Tinggi

RANGKUMAN EKSEKUTIF / ABSTRAK

Program studi Pendidikan Agama Islam mulai didirikan sejak 1 April 2001, kemudian diberikan Status izin operasional oleh Kopertais Wilayah VII Sumbagsel pada tanggal 1 April 2001 berdasarkan SK Kopertais Wilayah VII Nomor: IX / tahun 2001, kemudian melalui berbagai upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh para pengelolanya, berdasarkan Surat dari Direktur Jenderal Bimbagais Departemen Agama Republik Indonesia Nomor Dj.II/280/2002 menjadi status terdaftar. Dengan ijin Penyelenggaraan Program Studi Pendidikan Agama Islam, Strata Satu (S-1) pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah yang berlakuk selama 5 (limat) tahun. Pada tahun 2008 izin tersebut kembali diperpanjang untuk masa lima tahun kedepan oleh Direktur Jenderal Bimbagais Departemen Agama RI melalui Surat Keputusan nomor : Dj.I/385/2008 tertanggal 23 Oktober 2008.
Kuikulum program studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim dikembangkan berdasarkan pada SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 232/U/2000 dan Nomor 045/U/2003, serta UU Nomor 20 tahun 2003. Kurikulum program studi Pendidikan Agama Islam selalu diadakan evaluasi terhadap isi minimal tiap 2 (dua) tahun sekali dengan meminta masukan dari berbagai pihak diantaranya mahasiswa, alumni, Dosen, pengguna lulusan serta stakeholder.
Dalam konsep pembelajaran, program studi Pendidikan Agama islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim telah memberikan pelatihan kepada para Dosen-Dosen dengan metode Student Centered Learning (SCL), pada metode ini mahasiswa akan terdorong untuk aktif dalam ruang kuliah, tidak hanya sebagai pendengar yang pasif namun sebagai pelaku belajar sehingga harus selalu membuat tugas, presentasi, diskusi, tanyajawab. Keaktifan mahasiswa di dalam kelas berguna untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan mahasiswa akan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari. Pembelajaran mahasiswa diarahkan ke learning to do dan learning to be tidak hanya sebatas learning to know. Pelaksanaan pendidikan, pengajaran mengunakan kredit semester (SKS) dimana setiap mata kuliah diselesaikan dalam kurun waktu satu semester yang berlangsung selama 14 minggu.
Suasana akademik di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim terlihat dalam hubungan interaksi antara dosen dan mahasiswa yaitu ; proses belajar mengajar di dalam kelas dan diluar kelas yang dilakukan dosen dan mahasiswa, proses kolaborasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh dosen serta suasana akademik dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa diluar kegiatan proses belajar mengajar terjadwal.
Pengendalian mutu staf pengajar dilakukan secara berkelanjutan dan komprehensif. Pelatihan serta seminar sering diadakan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dosen. Peningkatan mutu dosen dilakukan dengan menganjurkan untuk selalu mengadakan penelitian dan mendapatkan jenjang jabatan fungsional yang akan merangsang dosen untuk selalu melakukan penelitian.
Untuk menunjang proses belajar dan pembelajaran yang kondusif dan bermutu, ruangan kuliah di program studi Pendidikan Agama Islam ada yang sebagian dilengkapi dengan kipas angin, soundsystem, dan dalam memberikan perkuliahan sebagian dosen juga mengunakan laptop sebagai media pembelajarannya, selain itu tersedia juga internet bagi mahasiswa dan semua ruangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim dalam waktu dekat akan diadakan Fasilitas Hot Spot area. Sehingga mahasiswa dapat mengakses materi-materi kuliah dan proses pembelajaran menjadi lebih dinamis.
Sampai dengan tahun 2009, program studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim telah berhasil mewisuda Sarjana Strata Satu (S1) sebanyak 172 wisudawan dengan IPK rata-rata 2.99 dan lama waktu untuk menyelesaikan studi rata-rata selama 4 setengah tahun. Lulusan program studi Pendidikan Agama Islam telah bekerja pada berbagai bidang seperti guru PNS, Guru Swasta, Penyuluh agama dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Pada saat ini program studi Pendidikan Agama Islam memiliki 29 orang Dosen dengan kualifikasi S2 (5), S1 (24). Para dosen yang berkualifikasi S1 saat ini sebagian sedang mengambil program S2. Jabatan akademik para Dosen antara lain Lektor 2 orang dan Asisten Ahli 12 orang. Program studi Pendidikan Agama Islam juga mempunyai Dosen Tidak tetap sebanyak 17 orang, kualifikasi, S2 (3), dan S1 (14) dengan jabatan akademik Lektor dan asisten ahli.
Jumlah mahasiswa aktif sampai penyusunan Evaluasi diri ini disusun sebanyak 460 Mahasiswa. Rasio Dosen Mahasiswa adalah sebesar 1 : 17 Tenaga pendukung yang dimiliki antara lain: Pustakawan 1 orang dengan kualifikasi Diploma II, Staf administrasi sebanyak 6 orang dengan kualifikasi S1 sebanyak 4 orang dan SLTA sebanyak 2 orang.
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim selalu menjaga mutu dan pemantauan pemantauan proses belajar mengajar, Penjaminan mutu tingkat Sekolah Tinggi dilakukan oleh Unit penjaminan mutu dimana dalam pelaksanaan selalu bersinergi.
Kegiatan penelitian dan publikasi yang dihasilkan dosen relatif memadai dan kualitasnya pada umumnya sudah baik. Selama tiga tahun terakhir jumlah penelitian dosen sebanyak 6 judul, dan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan selama tiga tahun terakhir sebanyak 34 kali.
Kelebihan dan kekurangan hasil dari pemotretan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim dalam evaluasi diri yang dilakukan dapat digambarkan bahwa penyelenggaraan program studi Pendidikan Agama Islam ini memiliki masa depan yang lebih baik dalam arti keberlanjutannya dapat dipertanggungjawabkan tentunya berbagai kelemahan yang ada perlu pembenahan dan dukungan baik dari yayasan, pengurus sekolah tinggi, sivitas akademika dan dari pihak-pihak yang peduli pada pendidikan dan yang diharapkan perhatian dari pemerintah utamanya Pemerintah kabupaten, sehingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim ini akan menjadi alternative utama dan pertama bagi masyarakat.

PERANAAN KELUARGA DALAM MELAKSANAKAN PENGAMALAN ILMU MAWARIS ( STUDI KASUS DI DESA BENUANG KECAMATAN TALANG UBI )

Peranan Keluarga Dalam Pelaksanaan

Proposal Skripsi Pendidikan Agama Islam 3

wisata simla

Cerita Simla India

CONTOH RENSTRA PROGRAM STUDI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dorongan utama sehingga didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim ini adalah rasa terpanggilan dari beberapa tokoh untuk memberikan dharma bhaktinya dibidang pendidikan Tinggi sebagai bagian dari pembangunan bangsa dan Negara Indonesia, khususnya pengembangan pendidikan agama Islam di Kabupaten Muara Enim.
Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa tokoh masyarakat baik formal maupun non formal, yaitu H.M. Syarnubi Ahmad, S.Ag, H.M. Sahnan Lubis, S.Ag, Muktasim, S.Ag, Drs. Risno merintis berdirinya Pendidikan Tinggi Islam di Muara Enim.Rintisan tersebut di awali dengan Pembentukan Yayasan Perguruan Agama Islam Agama Muara Enim dengan Akta Notaris yang dibuat oleh Bambang Hermanto, SH Bersamaan dengan berdirinya Yayasan Perguruan Agama Islam Muara Enim didirikan pula Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STI Tarbiyah) Muara Enim dengan akta pendirian yang sama dengan akta pendirian Yayasan Peguruan Muara Enim .
Dengan demikian, kelahiran Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah bersamaan dengan kelahiran Yayasan Perguruan Agama Islam Muara Enim, yaitu tanggal 1 April 2004.
Dalam sejarah perkembangannya Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah berawal dari dua Jurusan yaitu Diploma II pendidikan Agama Islam (D.II PAI) dan Jurusan Strata 1 Pendidikan Ilmu Tarbiyah (S1 PAI). Saat ini Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muara Enim hanya memiliki satu jurusan saja yaitu S1 PAI, dikarenakan untuk jenjang Diploma II keberadannya tidak diperkenankan lagi oleh Departemen Agama. Selanjutnya STI Tarbiyah membangun dirinya sesuai irama pembangunan tanpa luput dari pasang surut perkembangannya dan hanya dengan perjuangan yang gigih yang dilandasi panuh rasa tanggung jawab yang tinggi.
Status Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Yayasan Perguruan Agama Islam Muara Enim Muara Enim dikukuhkan dengan SK Kopertais Nomor IX tahun 2004.
Rencana Strategis (Renstra) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah tahun 2009 – 2014 merupakan kelanjutan dan pengembangan dari renstra sebelumnya, yang ditandai dengan berbagai perubahan paradigma pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia. Besar harapan bahwa renstra ini dapat dijalankan dan diaplikasikan secara maksimal oleh civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah sehingga pada gilirannya akan mendekatkan pada pencapaian visi- misi dan tujuan yang telah dirumuskan secara bersama. Amien ya rabbal a’lamien.
1.2. Dasar Berdirinya STI Tarbiyah
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ( LNRI No. 78 Tahun 2003 dan Tambahan LNRI No. 4301 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
3. Statuta Sekolah Tingi Ilmu Tarbiyah Muara Enim
1.3. Tujuan
Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Yayasan Perguruan Agama Islam Enim tahun 2009–2014 adalah dapat dirumuskannya kebijakan program pengembangan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dengan berdasarkan pada kondisi obyektif baik di lingkungan internal maupun lingkungan eksternal yang harus segera diantisipasi dalam jangka waktu tertentu yang pada akhirnya diharapkan dapat tercapai visi, misi, tujuan dan sasaran Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah sebagai institusi penyelenggara pendidikan tinggi khususnya di bidang pendidikan Islam .
1.4. Ruang Lingkup
Perencanaan strategis Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Yayasan Perguruan Agama Muara Enim tahun 2009 - 2014 mencakup berbagai aspek pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta pengembangan sarana dan prasarana beserta aspek-aspek lainnya yang mendukung tercapainya visi, misi, tujuan dan sasaran kelembagaan.
Perencanaan strategis ini juga dimaksudkan untuk mendorong timbulnya gagasan serta ide baru dalam mengantisipasi berbagai dinamika yang terjadi di dalam masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidah akademik serta kemanfatan terhadap masyarakat, bangsa dan negara.

Thursday, July 29, 2010

Hakikat Pengawasan Sekolah

Hakikat Pengawasan Sekolah
Diterbitkan April 4, 2008 manajemen pendidikan
Tags: pendidikan, manajemen pendidikan, berita, opini, Blog Indonesia

Diambil dari : Nana Sudjana, dkk. 2006. Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas
Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannyapun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, pegawai atau karyawan dipimpin dan dimotivasi untuk men¬sukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin selamanya bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncana¬kan. Pengawasan sekolah itu penting karena merupa¬kan mata rantai terakhir dan kunci dari proses manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi pengawasan sekolah terletak terutama pada hubung¬an¬nya terhadap pe-rencana¬an dan kegiatan-kegiatan yang didelegasikan (Robbins 1997). Holmes (t. th.) menyatakan bahwa ‘School Inspection is an extremely useful guide for all teachers facing an Ofsted inspection. It answers many important questions about preparation for inspection, the logistics of inspection itself and what is expected of schools and teachers after the event’.
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003). Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan (Muid, 2003).
Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998).
Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000). Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus pengawasan sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berke¬sinambung¬an pada sekolah yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponen-lainnya. Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang ber¬sangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkat¬an mutu pendidikan di sekolah yang dimaksud dapat dijelaskan dalam visualisasi Gambar 1 tentang Hakikat Pengawasan. Dari visualisasi Gambar 1. tersebut tampak bahwa hakikat pengawas¬an memiliki empat dimensi: (1) Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Net¬work¬ing and Collaboration. Keempat dimensi hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.

Gambar 1. Hakikat Pengawasan diadopsi dari Ofsted, 2003
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan peng¬gambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Net¬work¬ing and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pen¬didik¬an dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan ada pada pihak sekolah. Networking merupakan inti hakikat kegiatan supervisi yang prospektif untuk dikembangkan terutama pada era globalisasi dan cybernet teknologi seperti sekarang ini. Jejaring kerjasama dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Jejaring kerjasama secara horisontal dilakukan dengan sesama sekolah sejenis untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman pengembangan mutu sekolah, misalnya melalui MKP, MKKS, MGBS, MGMP. Jejaring kerjasama secara vertikal dilakukan baik dengan sekolah pada aras dibawahnya sebagai pemasok siswa barunya, maupun dengan sekolah pada jenjang pendidikan di atasnya sebagai lembaga yang akan menerima para siswa lulusannya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan di sekolah baik pengawasan dalam bidang akademik (teknis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Jabatan pengawas adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural sehingga untuk menyandang predikat sebagai pengawas harus sudah berstatus tenaga pendidik/guru dan atau kepala sekolah/wakil kepala sekolah, setidak-tidaknya pernah menjadi guru.
Berdasarkan rumusan di atas maka kepengawasan adalah aktivitas profesional pengawas dalam rangka membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah :
1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembina¬an/pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu meng¬gambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.
Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan me¬ngembangkan mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut ini.
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan tugas profresional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawan¬an sosial yang tinggi, baik terhadap stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.

Hakikat Pengawasan Sekolah

Hakikat Pengawasan Sekolah
Diterbitkan April 4, 2008 manajemen pendidikan
Tags: pendidikan, manajemen pendidikan, berita, opini, Blog Indonesia

Diambil dari : Nana Sudjana, dkk. 2006. Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas
Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannyapun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, pegawai atau karyawan dipimpin dan dimotivasi untuk men¬sukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin selamanya bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncana¬kan. Pengawasan sekolah itu penting karena merupa¬kan mata rantai terakhir dan kunci dari proses manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi pengawasan sekolah terletak terutama pada hubung¬an¬nya terhadap pe-rencana¬an dan kegiatan-kegiatan yang didelegasikan (Robbins 1997). Holmes (t. th.) menyatakan bahwa ‘School Inspection is an extremely useful guide for all teachers facing an Ofsted inspection. It answers many important questions about preparation for inspection, the logistics of inspection itself and what is expected of schools and teachers after the event’.
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003). Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan (Muid, 2003).
Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998).
Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000). Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus pengawasan sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berke¬sinambung¬an pada sekolah yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponen-lainnya. Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang ber¬sangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkat¬an mutu pendidikan di sekolah yang dimaksud dapat dijelaskan dalam visualisasi Gambar 1 tentang Hakikat Pengawasan. Dari visualisasi Gambar 1. tersebut tampak bahwa hakikat pengawas¬an memiliki empat dimensi: (1) Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Net¬work¬ing and Collaboration. Keempat dimensi hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.

Gambar 1. Hakikat Pengawasan diadopsi dari Ofsted, 2003
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan peng¬gambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Net¬work¬ing and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pen¬didik¬an dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan ada pada pihak sekolah. Networking merupakan inti hakikat kegiatan supervisi yang prospektif untuk dikembangkan terutama pada era globalisasi dan cybernet teknologi seperti sekarang ini. Jejaring kerjasama dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Jejaring kerjasama secara horisontal dilakukan dengan sesama sekolah sejenis untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman pengembangan mutu sekolah, misalnya melalui MKP, MKKS, MGBS, MGMP. Jejaring kerjasama secara vertikal dilakukan baik dengan sekolah pada aras dibawahnya sebagai pemasok siswa barunya, maupun dengan sekolah pada jenjang pendidikan di atasnya sebagai lembaga yang akan menerima para siswa lulusannya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan di sekolah baik pengawasan dalam bidang akademik (teknis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Jabatan pengawas adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural sehingga untuk menyandang predikat sebagai pengawas harus sudah berstatus tenaga pendidik/guru dan atau kepala sekolah/wakil kepala sekolah, setidak-tidaknya pernah menjadi guru.
Berdasarkan rumusan di atas maka kepengawasan adalah aktivitas profesional pengawas dalam rangka membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah :
1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembina¬an/pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu meng¬gambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.
Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan me¬ngembangkan mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut ini.
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan tugas profresional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawan¬an sosial yang tinggi, baik terhadap stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.

Hakikat Pengawasan Sekolah

Hakikat Pengawasan Sekolah
Diterbitkan April 4, 2008 manajemen pendidikan
Tags: pendidikan, manajemen pendidikan, berita, opini, Blog Indonesia

Diambil dari : Nana Sudjana, dkk. 2006. Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas
Ketika perencanaan pendidikan dikerjakan dan struktur organisasi persekolahannyapun disusun guna memfasilitasi perwujudan tujuan pendidikan, serta para anggota organisasi, pegawai atau karyawan dipimpin dan dimotivasi untuk men¬sukseskan pencapaian tujuan, tidak dijamin selamanya bahwa semua kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang direncana¬kan. Pengawasan sekolah itu penting karena merupa¬kan mata rantai terakhir dan kunci dari proses manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi pengawasan sekolah terletak terutama pada hubung¬an¬nya terhadap pe-rencana¬an dan kegiatan-kegiatan yang didelegasikan (Robbins 1997). Holmes (t. th.) menyatakan bahwa ‘School Inspection is an extremely useful guide for all teachers facing an Ofsted inspection. It answers many important questions about preparation for inspection, the logistics of inspection itself and what is expected of schools and teachers after the event’.
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003). Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan (Muid, 2003).
Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998).
Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000). Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus pengawasan sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berke¬sinambung¬an pada sekolah yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponen-lainnya. Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang ber¬sangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkat¬an mutu pendidikan di sekolah yang dimaksud dapat dijelaskan dalam visualisasi Gambar 1 tentang Hakikat Pengawasan. Dari visualisasi Gambar 1. tersebut tampak bahwa hakikat pengawas¬an memiliki empat dimensi: (1) Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Net¬work¬ing and Collaboration. Keempat dimensi hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.

Gambar 1. Hakikat Pengawasan diadopsi dari Ofsted, 2003
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan peng¬gambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Net¬work¬ing and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pen¬didik¬an dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan ada pada pihak sekolah. Networking merupakan inti hakikat kegiatan supervisi yang prospektif untuk dikembangkan terutama pada era globalisasi dan cybernet teknologi seperti sekarang ini. Jejaring kerjasama dapat dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Jejaring kerjasama secara horisontal dilakukan dengan sesama sekolah sejenis untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman pengembangan mutu sekolah, misalnya melalui MKP, MKKS, MGBS, MGMP. Jejaring kerjasama secara vertikal dilakukan baik dengan sekolah pada aras dibawahnya sebagai pemasok siswa barunya, maupun dengan sekolah pada jenjang pendidikan di atasnya sebagai lembaga yang akan menerima para siswa lulusannya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan adalah tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan di sekolah baik pengawasan dalam bidang akademik (teknis pendidikan) maupun bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Jabatan pengawas adalah jabatan fungsional bukan jabatan struktural sehingga untuk menyandang predikat sebagai pengawas harus sudah berstatus tenaga pendidik/guru dan atau kepala sekolah/wakil kepala sekolah, setidak-tidaknya pernah menjadi guru.
Berdasarkan rumusan di atas maka kepengawasan adalah aktivitas profesional pengawas dalam rangka membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah :
1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembina¬an/pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu meng¬gambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.
Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan me¬ngembangkan mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut ini.
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan tugas profresional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawan¬an sosial yang tinggi, baik terhadap stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.

Wednesday, July 28, 2010

Makalah Pendidikan Islam-3

POLITIK ISLAM;
Telaah Kehidupan Pasca Kekhilafahan Khulafaur Rasyiddin (Masa Kekhilafahan Bani Umayyah 41 H/661 M – 132 H/750 M)


Pendahuluan
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh tuntunan Rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih di masa adanya para Sahabat. Inilah fakta sejarah yang terjadi. Namun apakah benar, tuntunan Islam dalam perpolitikan (sistem negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (khalifah). Tulisan ini secara khusus akan mengulas sejauhmana penyimpangan terhadap syariat Islam tersebut, bila ada. Dan umumnya akan melihat lebih jauh kiprah perpolitikan masa 14 Khalifah pasca Khulafaur Rasyiddin atau yang dikenal dengan masa Kekhalifahan Umayyah.
Walaupun agak enggan menyebut dengan nama keluarga Umayyah, dalam masa ini, namun fakta yang terjadi adalah pada masa ini Khalifah-khalifah yang dibai’at kebanyakan berasal dari keluarga tersebut. Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984), kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali, Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 41H/661M. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M, dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Karakteristik Yang Ditinggalkan
Sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya, keempat belas Khalifah dari Keluarga Umayyah ini telah menggoreskan sejarah dengan karakteristik tersendiri. Inilah yang kemudian dinyatakan sebagai keberhasilan atau kelemahan dalam keberadaannya. Sedikit tentang sejarah yang ditorehkannya antara lain;
1. Mulai adanya penyempitan calon-calon yang diajukan sebagai khalifah pengganti khalifah sebelumnya. Yaitu calon-calon tersebut harus berasalkan dari keluarga Umayyah. Inilah yang dikatakan sebagai penyimpangan dari ajaran Islam, tetapi sejauh mana penyimpangan tersebut. Secara lebih spesifik bahasannya disendirikan di bagian akhir.
2. Perluasan wilayah Islam dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Dalam kekuasaannya selama 90 tahun, wilayah Islam semakin luas, mulai dari Spanyol, sampai dengan India. Penaklukan militer ini berjalan cepat terutama pada pemerintahan Khalifah Al Walid. Segenap Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M pasukan Muslim menyebrangi Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian menyebrangi Sungai Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur, seorang Wali Arab menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama kalinya di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993). Bagi beberapa kalangan luas wilayah Islam pada masa ini adalah yang terluas dibanding dengan masa kekhalifahan lainnya. Perluasan-perluasan berikutnya hanyalah berupa pengembangan dari luas wilayah yang telah ada. Malah pada akhir masa Kekhalifahan Utsmani, wilayahnya semakin menyempit akibat sparatisme dan berkembangnya nation state, sampai akhirnya hilanglah wilayah kekhalifahan Islam pada tahun 1924 (3 Maret), saat diruntuhkannya Kekhalifahan Utsmaniyyah sehingga wilayah Islam terpecah menjadi negeri-negeri Islam, sampai sekarang.
3. Pembangunan fisik semakin marak dilakukan. Apabila pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin, pembangunan terlihat lebih fokus kepada pembangunan ruhul Islam, dalam artian penerapan hukum-hukum Islam di muka bumi. Pada masa Umayyah pembangunan fisik dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang, hal-hal yang khusus antara lain. Penghijauan daerah Mekkah dan Madinah pada masa Khalifah Mu’awiyah, pembuatan mata uang Islam pada masa Khalifah Abdul Malik, penghimpunan hadits-hadits Nabi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Masjid Raya Damaskus didirikan oleh Khalifah Al Walid I serta Madrasah al Nuriyah di Damaskus pun dibangun untuk sarana pendidikan.
Kehidupan Perpolitikan dan Kemasyarakatan
Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Umayyah tidak begitu jauh berbeda dengan masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin. Dengan landasan Al Qur’an serta Sunnah Rasulullah, kehidupan bermasyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan, antara lain:
1. kedaulatan di tangan syara’
2. kekuasaan milik ummat
3. mengangkat Khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin
4. hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum syara’
(Sistem Pemerintahan Islam, 1997)
dengan keempat pilar ini pemerintahan ditegakkan atas wilayah-wilayah yang menjadi bagian negara Islam yang semakin meluas. Dengan adanya daulah Islam dengan keempat pilarnya tersebut kepentingan Islam, yaitu tegaknya hukum Islam di muka bumi dapat dilaksanakan. Setiap takluknya suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat Islam langsung ditegakkan di sana. Dan berbondong-bondong bangsa masuklah kedalam naungan Islam. Masuknya manusia ke dalam Islam secara berbangsa ini adalah hal yang sulit dibayangkan bagaimana terjadinya di masa kini serta berbondongnya manusia memeluk suatu agama hanyalah terjadi kepada al Islam.
Dalam kehidupan masyarakat, hukum Islam tetap ditegakkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur masyarakat Islam, walaupun semakin banyak suku bangsa yang masuk dalam daulah Islam (Spanyol di Barat - India di Timur ; Prancis di Utara - Nubia [Afrika] di Selatan). Dengan hukum-hukum Islam maka keadilan Tasyri’ dapat ditegakkan pula (Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam, 1995). Piagam Madinah yang mencerminkan keragaman masyarakat yang ada tetap menjadi rujukan dengan tidak mengutamakan satu suku bangsa diantara yang lain, juga tidak merendahkannya dibandingkan yang lain.
Kehadiran Islam di daerah-daerah taklukannya bagaikan hujan yang mengguyur padang yang kering, sehingga menumbuhkan benih-benih tumbuhan yang bersemi, berbunga dan menampakkan buahnya. Kejayaan Islam pun nampak. Bila pada masa Khulafaur Rasyiddin kejayaan secara fisik masih belum terlihat, maka mulai Masa Umayyah inilah mulai terlihat hasilnya. Sarjana-sarjana Islam mulai bermunculan, Ilmu Pengetahuan berkembang pesat, pembangunan fisik marak dilakukan. Kota-kota baru dibangun. Inilah karunia Allah. Di mana Islam kemudian menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kejayaan Islam ini salah satunya ditunjukkan dengan kesejahteraan yang terjadi. Diriwayatkan dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh Yahya bin Sa’ad menceritakan bahwa:
“Saya diutus oleh Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan zakat di Afrika, dan saya jalankan tugas itu. Saya cari orang-orang fakir di sana untuk diberi zakat, tetapi saya tidak mendapati adanya orang-orang fakir dan miskin yang mau menerima zakat. Dan orang-orang mengatakan: ‘Umar bin Abdul Aziz yang membuat orang-orang menjadi kaya’”
Namun seringkali keberadaan khalifah-khalifah ini dipandang sebelah mata. Kebesaran yang dibangunnya seolah pupus dengan khilaf yang dilakukannya yang mungkin apabila dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin masa sekarangpun, masih jauh perbandingannya. Mungkin perbuatan Yazid pada Peristiwa Karbala, 10 Muharam, pembantaian Husein r.a. dan keluarganya memang sepertinya tidak dapat dimaafkan, namun Mu’awiyah mungkin bisa dinilai berbeda. Beliau adalah orang yang sejaman dengan Rasul saw, Khalifah kelima, Politikus ulung, serta penghalau Byzantium di daerah utara Islam. Namun karena kesalahannya memaksakan anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sehingga menerapkan sistem putera mahkota dalam pemerintahan Islam maka seolah pupus kebajikan yang dibuatnya.
Sistem putera mahkota memang merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam. Karena sesuai dengan pilar pemerintahan Islam, kekuasaan adalah milik ummat, bukan milik khalifah. Walau khalifah hanya merupakan wakil ummat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Dan Mu’awiyah telah mempraktekan sistem tersebut. Yang menyebabkan Mu’awiyah mempraktekan bid’ah ini adalah:
1. Mu’awiyah memahami bahwa sistem kepemimpinan daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah.
2. Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu menta’wilkannya
3. Metode ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun atas dasar asas manfaat
(Sistem Pemerintahan Islam,1997)
kesalahan Mu’awiyah dalam melakukan pergantian Khalifah telah membelokkan pemahaman sebagian umat Islam saat itu mengenai mekanisme pergantian elit. Dari yang dilakukan dengan pemilihan secara bebas menjadi pemilihan terbatas (keluarga) atau penunjukkan orang tertentu. Inilah yang menyimpang. Namun mengenai proses bai’at sebagai thariqah pengangkatan khalifah tetap dilakukan, dan tetap dilakukan dengan prosedur yang sama sebagaimana masa Khulafaur Rasyiddin.
Penutup
Kekhilafahan Islam saat ini telah lenyap, namun masih tergambar jelas sisa-sisa kejayaannya sampai kini. Masa Bani Umayyah hanyalah bagian kecil dari goresan sejarah yang telah ditorehkan. Sejarah hanya menceritakan fakta dan interpretasi. Setiap masa manusia ada kelebihan dan kekurangannya, namun apabila al Islam masih ditegakkan maka itulah hal yang pokok, karena tegaknya syariat Islam di muka bumi adalah suatu keharusan. Dengan kesinambungannya melanjutkan kehidupan Islam sejak ditegakkannya oleh Rasulullah Muhammad saw di Madinah al Munawarah, kekhilafahan ini meluaskan dakwah Islam sampai ke sepertiga bumi. Di saat bangsa-bangsa lain masih tidur pulas, maka ummat Islam membangun kejayaannya dan membangkitkan manusia serta menjadikan Islam benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Wallahu ‘alam bishowab
Daftar Khalifah pada masa Bani Umayyah:
No Nama Khalifah Memerintah
Lama Mulai Selesai Usia
1 Mu’awiyah bin Abi Sofyan 19 th 3 bl 41 H / 661 M 60 H / 681 M 80 th
2 Yazid bin Mu’awiyah 3 th 6 bl 60 H / 681 M 64 H / 684 M 38 th
3 Mu’awiyah bin Yazid 3 bl 64 H / 684 M 64 H / 684 M 23 th
4 Marwan bin Hakam 9 bl 64 H / 684 M 65 H / 684 M 63 th
5 Abdul Malik bin Marwan 21 th 65 H / 684 M 86 H / 705 M 76 th
6 Walid bin Abdul Malik 9 th 7 bl 86 H / 705 M 96 H / 714 M 42 th
7 Sulaiman bin Abdul Malik 2 th 8 bl 96 H / 714 M 99 H / 717 M 45 th
8 Umar bin Abdul Aziz 2 th 5 bl 99 H / 717 M 101 H / 720 M 39 th
9 Yazid bin Abdul Malik 4 th 1 bl 101 H / 720 M 105 H / 724 M 40 th
10 Hisyam bin Abdul Malik 19 th 9 bl 105 H / 724 M 125 H / 743 M 55 th
11 Walid bin Yazid 1 th 2 bl 125 H / 743 M 126 H / 744 M 40 th
12 Yazid bin Walid 6 bl 126 H / 744 M 126 H / 744 M 46 th
13 Ibrahim bin Yazid 4 bl 126 H / 744 M 127 H / 744 M 47 th
14 Marwan bin Muhammad al Ja’di 5 th 10 bl 127 H / 744 M 132 H / 750 M 62 th
Sumber: Ilmu Politik Islam III, 1977

makalah SKI "HILANGNYA SURGA ANDALUSIA"

HILANGNYA SURGA ANDALUSIA
Muslimin menaklukkan Andalus yang dikuasai orang-orang Goth pada tahun 711 M./92 H.. Sebelum dikuasai kaum Muslimin, Andalus dikenal dengan sebutan Iberia, dinisbahkan kepada orang-orang Iber, penduduk terlama yang mendiami kawasan itu.
Kata “Andalus” berasal dari "Vandalos", nama wilayah Eropa Utara yang menyerang Romawi pada abad ke-V. Orang-orang Romawi menyebut para penyerang itu dengan “Vandalos” karena menghancurkan berbagai kawasan Romawi yang dikenal berperadaban. Hingga kini, kata “vandals” masih dipakai dalam bahasa untuk menyebut orang atau kelompok yang merusak, anti estetika. Bangsa-bangsa "Vandals” itu sampai ke selatan Spanyol, selanjutnya kawasan itu dikenal dengan “Vandalusia”. Ketika kaum Muslimin menaklukkan kawasan tersebut, mereka menamakannya "Andalus". Kekuasaan kaum Muslimin di Andalus selama hampir delapan abad melahirkan sebuah peradaban ilmiah cemerlang. Kekuasaan ini berakhir dengan jatuhnya Grenada, akhir benteng Islam di Andalus, ke tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand pada tahun 1489 M. (898 H.).

Kejatuhan Andalus merupakan pengalaman terpahit kaum Muslimin dalam sejarah. Karena kejatuhan ini bukan saja hilangnya sebuah wilayah yang telah dikuasai selama berabad-abad, namun juga hilangnya agama, entitas budaya, dan peradaban. Ketika orang-orang Katolik berhasil menguasai Andalus, mereka melakukan pembersihan agama dalam bentuk ujian keimanan atau inquisisi (Mahkamah al- Taftisî). Mereka memaksa orang-orang Islam dan Yahudi pindah ke agama Kristen, jika tidak mereka akan membunuhnya dengan alat-alat siksaan secara keji. Dalam rangka menyelamatkan iman ini, tidak sedikit kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi melakukan eksodus ke Afrika Utara dan wilayah Ottoman (Turki). Setelah itu orang-orang Katolik berusaha menghilangkan simbol-simbol agama dan peradaban yang telah berabad-abad bercokol di Andalus. Masjid-masjid dan Synagog diubah menjadi gereja; buku-buku agama, ilmiah, dan filsafat dibakar di tanah-tanah lapang. Para sejarawan modern mengatakan bahwa jaman Inquisi ini merupakan sisi gelap sejarah gereja yang pernah terjadi di Eropa.

Sebenarnya, runtuhnya kekuasaan Islam di Andalus mulai terasa setelah wafatnya al-Hakam bin Abdurrahmân al-Nashîr (979 M.). Al-Hakam merupakan salah satu penguasa terkuat Bani Umaiyah yang menjaga kedaulatan Bani Umaiyah di Andalus. Al Hakam mewariskan kekuasaan kepada puteranya Hisyâm, yang masih berusia dua belas tahun. Namun al-Mansûr sebagai pewaris kerajaan yang terhalangi mengambil kekuasaan dari Hisyam.
Setelah al-Mansûr wafat, situasi Andalus bertambah kacau. Huru-hara bermunculan yang berakhir dengan penghapusan sistem khilafah pada tahun 1030 M. (422 H.).
Setelah kekuasaan Bani Umaiyah runtuh, Andalus mengalami disintegrasi menjadi negara-negara kecil atau dalam sejarah dikenal dengan "Ashr Mulûk Tawâ'if" (jaman raja-raja kecil). Jumlah negara-negara kecil di Andalus pada masa itu mencapai dua puluhan, antara lain: Bani Hamoud di Cordova, Malaga, dan Algecira (al-Gezirah al-Khadlrâ'), Bani Dzû al-Thaûn di Toledo, Banî Ebad di Seville, Bani Hud di Zaragoza, Bani Zery di Grenada dan Bani Juhur di Cordova. Kekuasaan raja-raja kecil tetap berlangsung hingga Andalus dikuasai Dinasti Murabitin dari Maghrib yang sebelumnya diminta para raja kecil untuk membantu mereka menghadapi kekuatan militer orang-orang Katolik.

Meski era raja-raja kecil di Andalus ini tidak berlangsung lama, namun mengandung dimensi sejarah yang besar. Karena pada masa masa inilah terjadi konflik kekuasaan yang hebat diantara para raja kecil. Setiap penguasa Muslim melakukan makar dan tipu daya terhadap penguasa Muslim lainnya untuk menjatuhkan kekuasaannya. Mereka mengerahkan segala upaya dan cara untuk mencapai tujuan. Bahkan tidak sedikit dari mereka mengadakan perjanjian dan kerjasama dengan musuh untuk menghancurkan penguasa Muslim lain dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah atau pelabuhan lautnya. Pada zaman raja-raja kecil inilah kekuasaan orang-orang Katolik menjadi kuat. Hal yang tidak pernah terjadi sejak awal penaklukan Andalus. Kekuatan ini dipergunakan musuh sebaik-baiknya untuk merebut satu demi satu kota-kota Islam, menghancurkan kaum Muslimin serta mengusir mereka dari Andalus. Muhammad Abdullah Annan, sejarawan Mesir yang berkutat tentang Andalus, mengatakan bahwa jatuhnya Andalus merupakan kejatuhan 71 kota Islam di Semenanjung Iberia.

Dalam "Nafah al-Thayib fî Ghushn Andalus al-Ratib", al-Muqry dengan kasidah dan sebuah prosa panjang bercerita tentang akhir kekuasaan kaum Muslimin di Andalus.
Al-Muqry berkata: Abu Abdullah terlebih dahulu berlabuh di Melila (wilayah Maroko di daratan Afrika Utara yang menjadi salah satu profinsi Spanyol hingga kini, pen.) kemudian menuju Fez dan menetap disana. Beliau menghadap Sultan Abu Abdullah Muhammad Syeikh raja Fez, pemimpin Bani Wuthas yang berkuasa setelah Bani Marin. Abu Abdullah berdampingan dengan beliau serta berlindung di bawah kekuasaan dan pelayanan beliau. Abu Abdullah meminta maaf atas segala dosa dan kelalaiannya menunaikan kewajiban menjaga tanah air dan agama. Pembelaan Abu Abdullah yang terkenal dalam sejarah ini tertulis dalam sebuah risalah indah yang mengesankan yang ia tujukan kepada raja Fez. Ia memberinya judul "Al-Raudl al-Athir al-Anfas fî al-Tawassul ilâ Mâlik Faz", dan al-Muqry menuliskan kembali risalah itu dalam bukunya.

Diriwayatkan bahwa Abu Abdullah, penguasa terakhir Andalus dari Bani Ahmar, ketika keluar dari istananya "Al Hambra" menuju pelariannya di Afrika Utara terlihat bersedih, hatinya teriris dan hancur berkeping. Hingga ketika sampai pada sebuah persimpangan jalan yang selanjutnya dikenal dengan "Zafrah al-Maghriby" dimana istana al-Hambra hampir tak terlihat lagi. Untuk terakhir kalinya ia memandang al-Hambra, sambil berurai airmata dari kedua kelopak matanya. Lalu ibunya berkata: Menangislah engkau bagai perempuan atas sebuah kerajaan yang hilang, sedangkan engkau tidak mau menjaganya bagai penjagaan laki-laki. Ahmad Syauqi, Amir Syuara', menggambarkan rombongan Abu Abdullah ini: Kelompok itu keluar dalam barisan-barisan tuli dari penjagaan, bagai sebuah rombongan mayat bisu. Mereka menyeberang lautan bagai sebuah keranda kematian, sedangkan dahulu dibawah kakek-kakek mereka merupakan singgasana yang kemarin.

Makalah Sejarah Kebudayaan Islam

NEPOTISME USMAN BIN AFFAN

PENDAHULUAN
Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib.[1] Utsman juga merupakan salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf.[2] Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan.[3] Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.
Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya.[4] Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun.[5] Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.[6]
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut.[7] Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[8]
2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
3. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
4. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
5. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[9] Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.

PERMASALAHAN
Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi bermuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.
Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah terhadap masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan. Disadari proses ini tidaklah mudah. Maka perlu dibatasi permasalahan kajian ini dengan menfokuskan pembahasan guna menjawab pertanyaan : Mengapa Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan publik strategis ?

KRONOLOGI PEJABAT NEGARA ‘KELUARGA’ KHALIFAH UTSMAN
Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab[10] yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia.[11] Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[12] Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[13]
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan.[14] Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negative.
Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[15] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya.[16] Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[17]
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”.[18]
Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[19]

PENUTUP
Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya.
Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut ?
________________________________________
[1] Prof. DR. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan Keenam. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 37-39
[2] ‘Abdu Manaf memiliki putra yaitu Hasyim dan Abdu Syams. Dari Hasyim kemudian menurunkan ‘Abdul Muththalib lalu Abdullah dan sampai kepada Nabi Muhammad. Sedangkan Abdu Syams memiliki anak bernama Ummayah lalu Abdullah lantas ‘Affan dan kemudian sampai kepada urutan Utsman. (Lihat Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta,1996). Hal. 254
[3] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007). Hal. 89
[4] Dalam sidang Formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman Bin ‘Auf, Utsman mengusulkan nama Ali Bin Abu Thalib dalam pencalonan sebagai khalifah ketiga. Sedangkan Ali Bin Abu Thalib bersikeras agar Utsman yang terpilih sebagai khalifah pengganti Umar Bin Khatthab. Karena hal inilah maka kemudian diadakan musyawarah penetuan suara sampai terpilihnya Utsman Bin Affan dengan suara mayoritas. Dengan demikian terbukti jelas bahwa Tokoh Ali maupun Utsman bukanlah tokoh yang ambisius terhadap kekuasaan. Selengkapnya baca Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi. Tarikh al Khulafa. (Dar al Fikr, Beirut, 2001). Hal. 176. Lihat pula Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred).et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid I. (PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 25
[5] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 67
[6] A. Latif Osman. Ibid. Hal. 67
[7] Di antara buku yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah Utsman bisa dilihat pada Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984). Hal. 120-130. Juga Philip K. Hitti. History of The Arabs. (The MacMillan Press, London, 1974). Hal. 44
[8] Keterikatan silsilah antara Utsman dan Muawiyah bertemu pada garis silsilah Ummayah. Ustman adalah putra Affan putra Abdullah Putra Ummayyah. Sedangkan Muawiyah adalah putra Abu Sufyan putra Harb putra Ummayyah. Lihat Soekama Karya. Opcit. Hal. 254
[9] A. Latif Osman. Opcit. Hal.67
[10] Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 247
[11] William Muir. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall. (The R.T. Society, Esinbargh, 1892). Hal. 216-217
[12] Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80
[13] Termasuk didalamnya tentang isu surat rahasia khalifah yang sebenarnya adalah buatan Marwan Bin Hakam yang memicu huru-hara. Lihat Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143
[14] Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred). et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169
[15] DR. Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Insan Amanah, Surabaya, 2004). Hal. 444-450. Juga H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. (Sinar Baru, Bandung, 1990). Hal. 426-427
[16] Joesoef Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 438-439
[17] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438-439
[18] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 437
[19] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438