Wednesday, July 28, 2010

makalah SKI "HILANGNYA SURGA ANDALUSIA"

HILANGNYA SURGA ANDALUSIA
Muslimin menaklukkan Andalus yang dikuasai orang-orang Goth pada tahun 711 M./92 H.. Sebelum dikuasai kaum Muslimin, Andalus dikenal dengan sebutan Iberia, dinisbahkan kepada orang-orang Iber, penduduk terlama yang mendiami kawasan itu.
Kata “Andalus” berasal dari "Vandalos", nama wilayah Eropa Utara yang menyerang Romawi pada abad ke-V. Orang-orang Romawi menyebut para penyerang itu dengan “Vandalos” karena menghancurkan berbagai kawasan Romawi yang dikenal berperadaban. Hingga kini, kata “vandals” masih dipakai dalam bahasa untuk menyebut orang atau kelompok yang merusak, anti estetika. Bangsa-bangsa "Vandals” itu sampai ke selatan Spanyol, selanjutnya kawasan itu dikenal dengan “Vandalusia”. Ketika kaum Muslimin menaklukkan kawasan tersebut, mereka menamakannya "Andalus". Kekuasaan kaum Muslimin di Andalus selama hampir delapan abad melahirkan sebuah peradaban ilmiah cemerlang. Kekuasaan ini berakhir dengan jatuhnya Grenada, akhir benteng Islam di Andalus, ke tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand pada tahun 1489 M. (898 H.).

Kejatuhan Andalus merupakan pengalaman terpahit kaum Muslimin dalam sejarah. Karena kejatuhan ini bukan saja hilangnya sebuah wilayah yang telah dikuasai selama berabad-abad, namun juga hilangnya agama, entitas budaya, dan peradaban. Ketika orang-orang Katolik berhasil menguasai Andalus, mereka melakukan pembersihan agama dalam bentuk ujian keimanan atau inquisisi (Mahkamah al- Taftisî). Mereka memaksa orang-orang Islam dan Yahudi pindah ke agama Kristen, jika tidak mereka akan membunuhnya dengan alat-alat siksaan secara keji. Dalam rangka menyelamatkan iman ini, tidak sedikit kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi melakukan eksodus ke Afrika Utara dan wilayah Ottoman (Turki). Setelah itu orang-orang Katolik berusaha menghilangkan simbol-simbol agama dan peradaban yang telah berabad-abad bercokol di Andalus. Masjid-masjid dan Synagog diubah menjadi gereja; buku-buku agama, ilmiah, dan filsafat dibakar di tanah-tanah lapang. Para sejarawan modern mengatakan bahwa jaman Inquisi ini merupakan sisi gelap sejarah gereja yang pernah terjadi di Eropa.

Sebenarnya, runtuhnya kekuasaan Islam di Andalus mulai terasa setelah wafatnya al-Hakam bin Abdurrahmân al-Nashîr (979 M.). Al-Hakam merupakan salah satu penguasa terkuat Bani Umaiyah yang menjaga kedaulatan Bani Umaiyah di Andalus. Al Hakam mewariskan kekuasaan kepada puteranya Hisyâm, yang masih berusia dua belas tahun. Namun al-Mansûr sebagai pewaris kerajaan yang terhalangi mengambil kekuasaan dari Hisyam.
Setelah al-Mansûr wafat, situasi Andalus bertambah kacau. Huru-hara bermunculan yang berakhir dengan penghapusan sistem khilafah pada tahun 1030 M. (422 H.).
Setelah kekuasaan Bani Umaiyah runtuh, Andalus mengalami disintegrasi menjadi negara-negara kecil atau dalam sejarah dikenal dengan "Ashr Mulûk Tawâ'if" (jaman raja-raja kecil). Jumlah negara-negara kecil di Andalus pada masa itu mencapai dua puluhan, antara lain: Bani Hamoud di Cordova, Malaga, dan Algecira (al-Gezirah al-Khadlrâ'), Bani Dzû al-Thaûn di Toledo, Banî Ebad di Seville, Bani Hud di Zaragoza, Bani Zery di Grenada dan Bani Juhur di Cordova. Kekuasaan raja-raja kecil tetap berlangsung hingga Andalus dikuasai Dinasti Murabitin dari Maghrib yang sebelumnya diminta para raja kecil untuk membantu mereka menghadapi kekuatan militer orang-orang Katolik.

Meski era raja-raja kecil di Andalus ini tidak berlangsung lama, namun mengandung dimensi sejarah yang besar. Karena pada masa masa inilah terjadi konflik kekuasaan yang hebat diantara para raja kecil. Setiap penguasa Muslim melakukan makar dan tipu daya terhadap penguasa Muslim lainnya untuk menjatuhkan kekuasaannya. Mereka mengerahkan segala upaya dan cara untuk mencapai tujuan. Bahkan tidak sedikit dari mereka mengadakan perjanjian dan kerjasama dengan musuh untuk menghancurkan penguasa Muslim lain dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah atau pelabuhan lautnya. Pada zaman raja-raja kecil inilah kekuasaan orang-orang Katolik menjadi kuat. Hal yang tidak pernah terjadi sejak awal penaklukan Andalus. Kekuatan ini dipergunakan musuh sebaik-baiknya untuk merebut satu demi satu kota-kota Islam, menghancurkan kaum Muslimin serta mengusir mereka dari Andalus. Muhammad Abdullah Annan, sejarawan Mesir yang berkutat tentang Andalus, mengatakan bahwa jatuhnya Andalus merupakan kejatuhan 71 kota Islam di Semenanjung Iberia.

Dalam "Nafah al-Thayib fî Ghushn Andalus al-Ratib", al-Muqry dengan kasidah dan sebuah prosa panjang bercerita tentang akhir kekuasaan kaum Muslimin di Andalus.
Al-Muqry berkata: Abu Abdullah terlebih dahulu berlabuh di Melila (wilayah Maroko di daratan Afrika Utara yang menjadi salah satu profinsi Spanyol hingga kini, pen.) kemudian menuju Fez dan menetap disana. Beliau menghadap Sultan Abu Abdullah Muhammad Syeikh raja Fez, pemimpin Bani Wuthas yang berkuasa setelah Bani Marin. Abu Abdullah berdampingan dengan beliau serta berlindung di bawah kekuasaan dan pelayanan beliau. Abu Abdullah meminta maaf atas segala dosa dan kelalaiannya menunaikan kewajiban menjaga tanah air dan agama. Pembelaan Abu Abdullah yang terkenal dalam sejarah ini tertulis dalam sebuah risalah indah yang mengesankan yang ia tujukan kepada raja Fez. Ia memberinya judul "Al-Raudl al-Athir al-Anfas fî al-Tawassul ilâ Mâlik Faz", dan al-Muqry menuliskan kembali risalah itu dalam bukunya.

Diriwayatkan bahwa Abu Abdullah, penguasa terakhir Andalus dari Bani Ahmar, ketika keluar dari istananya "Al Hambra" menuju pelariannya di Afrika Utara terlihat bersedih, hatinya teriris dan hancur berkeping. Hingga ketika sampai pada sebuah persimpangan jalan yang selanjutnya dikenal dengan "Zafrah al-Maghriby" dimana istana al-Hambra hampir tak terlihat lagi. Untuk terakhir kalinya ia memandang al-Hambra, sambil berurai airmata dari kedua kelopak matanya. Lalu ibunya berkata: Menangislah engkau bagai perempuan atas sebuah kerajaan yang hilang, sedangkan engkau tidak mau menjaganya bagai penjagaan laki-laki. Ahmad Syauqi, Amir Syuara', menggambarkan rombongan Abu Abdullah ini: Kelompok itu keluar dalam barisan-barisan tuli dari penjagaan, bagai sebuah rombongan mayat bisu. Mereka menyeberang lautan bagai sebuah keranda kematian, sedangkan dahulu dibawah kakek-kakek mereka merupakan singgasana yang kemarin.

No comments:

Post a Comment