Friday, August 6, 2010

PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI INDONESIA

(KASUS IAIN DAN PERGURUAN TINGGI ISLAM)

INDRAYANTO

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang berjumlah 14 mungkin bukan merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam sejarah, nama Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai upaya meresponi perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek tarik menarik antara berbagai kekuatan atau kelompok dalam masyarakat. Bagaimana tarik menarik itu terjadi dan apa akibatnya terhadap IAIN dalam mengemban tugasnya sebagai Perguruan Tinggi akan merupakan perhatian utama tulisan ini. Untuk menjawab pertanyaan itu akan digambarkan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan sejarah untuk memahami makna dari urut waktu kejadian yang ada, dan pendekatan sosiologis untuk memahami pola pengelompokan sosial yang ada dan pengaruh perilaku kelompok-kelompok itu terhadap visi dan pelaksanaan misi IAIN.

Antara Negeri dan Swasta

Dalam buku Almanak IAIN Sunan Kalijaga, sebagai IAIN pertama di Indonesia, dari tahun ke tahun dimuat informasi bahwa kehadiran IAIN di tengah masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Dr. Satiman Wirjosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No. 15 Tahun IV (1938) pernah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan umum. Akan tetapi setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama. Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah dengan biaya rendah dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka keperluan akan adanya sekolah tinggi agama Islam itu semakin terasakan lagi dan kalau tidak, pengaruh Islam akan semakin kecil. Demikian alasan Satiman.

Gagasan tersebut kemudian terwujud pada tanggal 8 Juli 1946 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah yayasan (Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Dalam memorandumnya Drs. Moh. Hatta menyatakan bahwa agama adalah salah satu tiang kebudayaan bangsa. Oleh karena penduduk Indonesia 90 % beragama Islam maka pendidikan agama Islam adalah salah satu soal maha penting dalam memperkokoh kedudukan masyarakat. Untuk itu perlu didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada masa revolusi STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu.

Pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.

Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949. Ini bermula dengan pendirian Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Pebruari 1946 yang kegiatannya tertunda karena Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah persetujuan Roem Royen ditanda tangani pada 7 Mei 1949 muncul keinginan untuk segera menyelenggarakan kembali pendidikan tinggi nasional. Pada awalnya keinginan itu berhimpitan dengan rencana perbaikan Perguruan Tinggi federal sesuai dengan bentuk negara yang diusulkan Belanda ketika itu, tetapi para republikan tetap menginginkan Republik Indonesia memiliki Perguruan Tinggi sendiri di Yogyakarta. Atas bantuan Sultan Hamengkubuwono IX, beberapa bangunan milik kraton Yogyakarta digunakan untuk kegiatan Perguruan Tinggi dan sejak 7 Desember 1949 semua lembaga pendidikan tinggi negeri yang berada di Yogyakarta digabungkan di bawah satu atap dalam naungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang kemudian dikukuhkan dengan PP No. 23 tanggal 16 Desember 1949 tersebut dan sejak 14 Desember 1949 Pemerintah RI secara resmi mulai menyelenggarakan Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan Universitas Gadjah Mada. Kemudian pada 1954 kata “universiteit” diganti dengan kata “universitas” dan kata “negeri” dihilangkan sehingga menjadi Universitas Gadjah Mada.[i][i] Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak menjadi Syari’ah) dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada 26 September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957.

Dalam rangka menjadikan PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta lebih memenuhi kebutuhan umat Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri. Menurut dokumen ini, penggabungan itu diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Al-Jami’ah al-Islamiah al-Hukumiyah” yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan PTAIN Yogyakarta sebagai Induk dan ADIA Jakarta sebagai fakultas dari Institut baru tersebut. IAIN ini akhirnya diresmikan pada 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama, K. H. Wahib Wahab.

Perkembangan IAIN yang pesat dengan bermunculannya fakultas-fakultas cabang di berbagai pelosok tanah air menyebabkan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 1963, yang memungkinkan didirikannya suatu IAIN yang terpisah dari pusat. Sudah barang tentu, berdasarkan pertimbangan historis, Jakartalah yang pertama mendapatkan kesempatan untuk memiliki IAIN baru ini. Dengan demikian, IAIN Jakarta adalah IAIN kedua yang berdiri setelah IAIN Yogyakarta. Kini, IAIN sudah berjumlah 14 buah dengan dibukanya IAIN terakhir di Sumatra Utara pada 1973 oleh Menteri Agama waktu itu, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1965, maka terhitung sejak 1 Juli 1965 IAIN “Al-Jami’ah” di Yogyakarta diberi nama Sunan Kalijaga, nama salah seorang tokoh terkenal penyebar agama Islam di Indonesia. Kini hampir 49 tahun sudah usia IAIN Sunan Kalijaga, dihitung sejak diresmikannya PTAIN pada 26 September 1951. Penetapan tanggal ini dikuatkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 100 Tahun 1982 dan Keputusan Menteri Agama No. 399 Tahun 1993 tentang Statuta IAIN Sunan Kalijaga. IAIN-IAIN lain juga diberi tambahan nama seperti Syarif Hidayatullah untuk IAIN Jakarta, Walisongo untuk Semarang, Sunan Gunung Jati, Bandung dan sebagainya.[ii][ii]

Dari uraian sejarah di atas nampak bahwa meskipun beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) telah terbentuk, bahkan juga di berbagai daerah, kaum Muslimin tetap menginginkan berdirinya suatu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Tujuannya adalah PTAIN itu menjadi tempat belajar pada tingkat tinggi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Jelas sekali, status negeri dari Perguruan Tinggi Agama Islam itu dipandang sebagai perwujudan nyata dan sah dari komitmen pelayanan pemerintah kepada umat Islam Indonesia dalam bidang pendidikan.

Antara Akademik dan Politik

Setelah Universitas Gadjah Mada terbentuk pada 1949 dengan cara menggabungkan berbagai lembaga pendidikan tinggi negeri yang ada ketika itu antara lain di Yogyakarta dan Solo, yang seolah-olah memenuhi aspirasi pendidikan kaum nasionalis, maka hasrat umat Islam untuk memiliki PTAIN menjadi semakin besar. Meskipun berpikir polarisasi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam pada dekade 1990-an banyak dikritik orang, pada dekade 1940-an dan 1950-an berpikir polarisasi demikian adalah fakta. Terbukti dalam konsideran Peraturan Pemerintah tentang pendirian IAIN disebutkan secara eksplisit bahwa oleh karena kepada kaum nasionalis telah didirikan Universitas Gadjah Mada maka kepada kaum Muslimin perlu didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.

Demikianlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang didirikan di Yogyakarta pada 1951 itu pada awalnya lebih banyak bernuansa politik ketimbang nuansa akademik. Untuk waktu yang cukup lama keadaan ini mempengaruhi perkembangan IAIN. Orientasi akademik IAIN terseok-seok oleh karena godaan-godaan berpikir bernuansa politik seperti ini. Seolah-olah ada pandangan bahwa semua gerakan dan kegiatan IAIN ini harus tertuju, atau sekurang-kurangnya tidak boleh lupa, terhadap tugas memperbesar dan merapatkan barisan politik kaum Muslimin.[iii][iii]

Nuansa politik pada IAIN bukan hanya berkaitan dengan upaya memperkokoh barisan alternatif dalam kaitannya dengan kaum nasionalis, tetapi merasuk lebih dalam lagi. IAIN juga telah dijadikan lembaga untuk memperbesar dan merapatkan barisan berkekuatan politik Islam tertentu, terutama pada periode setelah pemilu 1955 dan dekade 1960-an. Seperti disebutkan di muka, jumlah IAIN seluruhnya adalah 14 buah, tersebar di seluruh Indonesia, yang terakhir didirikan adalah IAIN Medan pada 1973. Secara berurutan pendirian IAIN-IAIN itu adalah sebagai berikut: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1960, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1963, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1964, IAIN Raden Fatah Palembang 1964, IAIN Antasari Banjarmasin 1964, IAIN Sunan Ampel Surabaya 1965, IAIN Alauddin Ujung Pandang 1965, IAIN Imam Bonjol Padang 1966, IAIN Sultan Thaha Syaifuddin Jambi 1967, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung 1968, IAIN Raden Intan Tanjung Karang (Bandar Lampung) 1968, IAIN Walisongo Semarang 1970, IAIN Sultan Syarif Qosim Pekan Baru 1970, dan terakhir IAIN Sumatera Utara Medan 1973. Jumlah fakultas seluruhnya ketika pada pembentukan-pembentukan itu adalah 84 buah termasuk 32 fakultas cabang yang berkedudukan di luar ibukota propinsi atau bahkan di luar propinsi IAIN induknya.[iv][iv]

Pada umumnya IAIN-IAIN itu didirikan atas dukungan pemerintah daerah setempat yang seolah-olah menganggap kehadiran IAIN merupakan prasyarat bagi penilaian keberhasilan pembangunan di bidang agama di daerah itu. Lebih dari itu di kalangan masyarakat juga dirasakan adanya upaya yang kuat dari partai politik Islam tertentu untuk mewarnai dan menguasai IAIN. Pimpinan-pimpinan IAIN yang baru dibentuk itu pada umumnya diberikan kepada tokoh-tokoh yang berkaitan dengan politik Islam tertentu. Bahkan di kalangan mahasiswa pun dirasakan adanya upaya memperkuat posisi salah satu organisasi mahasiswa yang ketika itu menjadi underbouw partai tersebut. Keadaan ini terjadi antara 1960 setelah Partai Masyumi dibubarkan sampai 1971 ketika Prof. H. A. Mukti Ali diangkat sebagai Menteri Agama.

Jika polarisasi di atas disederhanakan, selama periode ini IAIN seolah-olah menjadi ajang persaingan antara kekuatan yang bersimpati kepada gerakan Muhammadiyah dan kekuatan yang bersimpati kepada gerakan Nahdlatul Ulama (NU). Sekurang-kurangnya kepemimpinan IAIN perlu merepresentasi unsur-unsur NU dan Muhammadiyah. Sebagai misal, ketika dibentuk Panitia Persiapan Pendirian IAIN Bandung justru ketuanya adalah K. H. Munir Ali, ketua NU Jawa Barat, maka secara sadar dicarikan dan ditunjuk wakil ketuanya, ARHATA, dari Muhammadiyah, yang masing-masing kemudian menjadi Wakil Rektor I dan Wakil Rektor II dari IAIN Bandung, sedangkan rektornya adalah K. H. Anwar Musaddad.[v][v]

Antara Kaum Tradisional dan Modernis

Pengangkatan Prof. H. A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama RI ternyata mempunyai dampak yang luas terhadap perkembangan IAIN. Pertama, para pejabat Departemen Agama pusat di Jakarta mengalami perubahan besar, dari kepemimpinan para kyai kepada para sarjana lulusan IAIN. Keadaan ini kemudian menggejala pada kepemimpinan Departemen Agama di daerah-daerah. Dalam lingkungan IAIN, gejala serupa juga terjadi, yaitu pergeseran kepemimpinan dari kaum tradisionalis kepada kaum modernis meskipun tidak selamanya berjalan mulus. H. A. Malik Fadjar, misalnya, Menteri Agama RI pada kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), mengakui bahwa ketika pada Desember 1972 ia diangkat oleh Menteri Agama H. A. Mukti Ali sebagai sekretaris (Kabag. TU) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, ternyata tidak diterima dengan mulus oleh pimpinan fakultas pro-NU yang ada ketika itu, karena dianggap akan mengubah kemapanan. Jabatan itu akhirnya memang diduduki oleh Malik Fadjar, meskipun harus tanpa melalui serah terima jabatan.[vi][vi]

Ada beberapa perbedaan perhatian dari kaum tradisionalis dan modernis dalam mengembangkan IAIN. Kaum tradisionalis cenderung menekankan penambahan jumlah IAIN, fakultas-fakultas, termasuk fakultas cabang maupun kelas jauh, bahkan kelas-kelas jauh yang berada di kota-kota propinsi lain maupun kota kabupaten. Kecenderungan kedua dari kaum tradisionalis adalah upaya mempertahankan studi Islam dalam bentuknya yang mirip dengan kurikulum pesantren atau universitas Al-Azhar, dalam arti banyak menekuni kitab-kitab berbahasa Arab dan kurang menerima ilmu pengetahuan umum sebagai ilmu bantu.

Sementara itu kecenderungan kaum modernis adalah justru sebaliknya. Kaum modernis mendorong dimasukkannya mata-mata kuliah umum yang kebanyakan menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia ke dalam kurikulum IAIN. Buku-buku berbahasa Indonesia ini semula dimaksudkan hanya untuk ilmu-ilmu bantu, tetapi kemudian ternyata juga menjalar kepada ilmu-ilmu inti, sehingga secara perlahan ikut menurunkan mutu IAIN karena semakin lemahnya para alumni dalam penguasaan bahasa Arab. Kecenderungan kedua dari kaum modernis ialah obsesinya terhadap rasionalisasi organisasi IAIN. Kelas-kelas jauh IAIN dihapuskan atau digabungkan dengan yang lain, jumlah fakultas diupayakan tidak bertambah lagi, atau bahkan kalau dapat dikurangi. Jumlah mahasiswa juga dikendalikan. Puncak dari kegiatan rasionalisasi organisasi ini, ialah dilepasnya sekitar 40 fakultas cabang IAIN menjadi 36 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri sendiri pada 1997, di luar 14 IAIN yang ada.

Dengan terbentuknya 36 buah STAIN maka pengembangan IAIN mengalami babak baru lagi. Dengan pendirian STAIN-STAIN ini, studi Islam di daerah-daerah diharapkan perkembangannya menjadi lebih mandiri. Dampaknya mulai terasa, sejumlah STAIN yang lebih kuat dapat berkembang lebih cepat. Akan tetapi STAIN yang lebih lemah akan semakin lemah, karena transfer dan subsidi tenaga dari manajemen dari bekas IAIN induknya menjadi sulit terjadi. Dampak lain dari pendirian STAIN ialah bahwa kurikulum IAIN sejak 1997 ternyata telah diatur dan diperlakukan seperti STAIN, khususnya dalam mengelompokkan MKDK dan MKK sehingga para dosen IAIN merasa seolah-olah kehilangan keberadaan fakultas mereka dan perbedaan kurikulum IAIN antar fakultas menjadi semakin tak jelas. Sebabnya ialah bias dan dipakainya asumsi STAIN yang tentu saja tidak mempunyai fakultas-fakultas, bahkan nama-nama fakultas itu disebut sebagai nama jurusan pada STAIN.

Ada perbedaan lain dari segi kecenderungan antara kaum tradisionalis dan modernis dalam kaitan studi keislaman dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagian kaum modernis, khususnya IAIN Jakarta dan Yogyakarta, berpikir bahwa IAIN mereka perlu diubah menjadi universitas agar di dalamnya diajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas, disamping ilmu-ilmu murni keislaman. Pikiran ini telah berkembang selama sekitar empat tahun terakhir, tetapi karena pukulan krisis ekonomi maka untuk sementara kedua IAIN itu mengambil jalan memperluas mandat dengan membuka program-program studi baru seperti psikologi, perpustakaan dan matematika, tanpa harus mengubah kelembagaannya menjadi universitas. Sementara itu IAIN-IAIN lain juga mengambil langkah serupa, membuka program-program studi baru yang selama ini dianggap di luar studi keislaman murni seperti matematika, perpustakaan, psikologi, jurnalistik, dan lain-lain. Perkembangan mengenai perubahan IAIN menjadi universitas nampaknya untuk sementara akan tersendat, karena di dalam tubuh IAIN sendiri berkembang pendapat terutama dari kalangan tradisionalis yang tidak menghendaki perubahan ini karena dianggap akan mendorong studi agama kepada sudut tertentu dan semakin kehilangan atau mengecil perannya. Di kalangan mereka yang setuju akan rencana perubahan IAIN menjadi universitas, juga ada dua pendapat. Pendapat pertama menghendaki perubahan kelembagaan itu dilakukan secara drastis, baru kemudian disusul dengan pembukaan jurusan-jurusan atau program studi baru. Sedangkan pendapat kedua yang nampaknya lebih konservatif mengatakan bahwa perubahan lembaga itu dapat dilakukan belakangan, sedangkan yang pertama-tama harus dilakukan adalah mendidik dan mempersiapkan tenaga pengajarnya untuk program-program studi baru non-agama yang akan dibuka, baru kemudian dengan program-program studi baru itu sebagai embrio dibentuklah fakultas baru dan selanjutnya barulah IAIN diubah menjadi universitas.[vii][vii]

Antara Lembaga Pendidikan Tinggi dan Lembaga Dakwah

Sejak paruh kedua dekade 1970-an, almarhum Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar, Guru Besar jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, seringkali menyatakan bahwa IAIN harus mengambil sikap yang tegas antara sebagai lembaga dakwah atau lembaga pendidikan tinggi. Hal itu diungkapkan misalnya kepada para peserta Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) yang diselenggarakan setiap tahun oleh Badan Litbang Agama dan diikuti oleh dosen-dosen seluruh Indonesia sejak 1976 sampai pertengahan 1980-an. Hal itu juga beliau kemukakan dalam berbagai seminar atau lokakarya yang membahas masalah-masalah pengembangan IAIN. Harsya Bachtiar melihat bahwa sampai akhir 1970-an bahkan awal 1980-an IAIN telah banyak mengeluarkan lulusan (pada waktu itu dengan gelar Drs) yang dalam masyarakat dikenal sebagai mubalig-mubalig dan para administratur di lingkungan Departemen Agama, selain guru-guru agama dan dosen IAIN sendiri. Sampai awal 1980-an itu, sejak berdirinya pada 1951 (untuk PTAIN) atau 1960 (untuk IAIN) IAIN belum pernah memberikan gelar doktor melalui program reguler. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memang pernah memberikan gelar doktor kepada Ir. Sukarno dan IAIN Syarif Hidayatullah memberikan gelar doktor kepada Syekh Ahmad Kaftaru misalnya, tetapi semuanya adalah gelar doktor honoris causa dan bukan gelar doktor melalui program reguler. Harsya Bachtiar melihat bahwa IAIN selama itu lebih berperan sebagai lembaga dakwah ketimbang sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Barulah pada awal 1980-an IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membuka Program Pasca Sarjana untuk jenjang magister dan doktor. Pertama-tama hal itu dirintis dengan sebuah program setahunan yang disebut Post Graduate Course (PGC) yang diselenggarakan di IAIN Sunan Kalijaga yang kemudian berkembang menjadi Program Pasca Sarjana. Dari segi materi yang dibahas, peranan Prof. Dr. Harun Nasution amat besar di sini. Meskipun almarhum tinggal di Jakarta, secara teratur beliau datang ke Yogyakarta untuk mengajar pada PGC tersebut. Setelah itu Program Pasca Sarjana kedua IAIN ini (Jakarta dan Yogyakarta) semakin mapan dan setelah Prof. Dr. Harun Nasution mengakhiri jabatannya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian menekuni Program Pasca Sarjana di Jakarta dan beliau sendiri menjabat sebagai direkturnya sejak berdirinya hingga akhir hayatnya pada 1999. PPS IAIN Jakarta ini amat produktif, sampai akhir tahun 1999 telah meluluskan sekitar 200 orang doktor, sedangkan PPS IAIN Yogyakarta sampai periode yang sama hanya meluluskan 36 orang doktor. Para lulusan itu terdiri atas beberapa kategori, ada yang disebut program Doktor Bebas yaitu yang diikuti oleh mereka yang bergelar Drs, tetapi kebanyakan lulusan adalah melalui Program Doktor Reguler yaitu dengan cara menyelesaikan Program Magister dulu baru memasuki Program Doktor.

Pada Program Pasca Sarjana ini, baik di Jakarta maupun Yogyakarta, hampir tidak ada masalah-masalah sektarianisme Muhammadiyah dan NU muncul ke permukaan, karena rekrutmen tenaga pengajar sepenuhnya hanya melihat kualifikasi akademik yaitu seorang tenaga pengajar harus bergelar doktor. Bahkan sampai akhir hayatnya Prof Dr. Harun Nasution hanya merekrut doktor lulusan Pergurun Tinggi luar negeri, baik dari Barat maupun Timur Tengah, untuk mengajar di PPS Jakarta. Hanya menjelang akhir hayatnya beliau menunjuk satu dua orang doktor lulusan dalam negeri untuk menjadi asistennya. Di Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta masalah-masalah sektarianisme itu juga tidak muncul. Apalagi tenaga pengajarnya banyak guru besar luar biasa dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, atau IAIN Jakarta, IAIN Semarang, dan IAIN Surabaya. Dengan status dosen luar biasa itu maka rekrutmen mereka menjadi sangat murni berdasarkan pertimbangan keahlian dan akademik.

Dengan keluarnya PP No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, maka pilihan arah perjalanan IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi itu semakin nyata. Kemudian dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 1998 dan PP No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, maka perjalanan dan orientasi akademik IAIN itu semakin mantap lagi. Meskipun aturan pelaksanaan dari Menteri Agama atas PP No. 60 Tahun 1999 ini sampai Januari 2000 belum ada, ada harapan bahwa ke depan IAIN akan semakin berkiprah sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang sebagai lembaga dakwah atau wadah persaingan sektarianisme. Harapan optimistis ini memang masih harus dibuktikan dan banyak tantangannya. Kelemahan IAIN pada umumnya ada tiga, yaitu masih rendahnya orientasi akademik, rendahnya orientasi manajemen, dan terlalu menjadikan agama sebagai obyek akal semata. Namun melihat perjalanan Program Pasca Sarjana yang positif selama ini maka harapan optimistis itu bukan tidak beralasan. Salah satu peluangnya ialah bahwa berdasarkan PP No. 60 Tahun 1999 kini IAIN mempunyai kewenangan yang luas untuk membentuk lembaga-lembaga yang diperlukan dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi (baik lembaga jurusan atau fakultas maupun lembaga-lembaga penelitian) untuk lebih memacu perannya sebagai lembaga pendidikan tinggi itu.


Catatan Akhir

[i][i] Pada Desember 1949 itu Perguruan-perguruan Tinggi Negeri yang digabungkan itu ialah Perguruan Tinggi Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi, Sekolah Tinggi Pertanian, Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan, Sekolah Tinggi Teknik, dan Sekolah Tinggi Hukum pindahan dari Surakarta. Lihat Laporan Rektor 50 Tahun UGM (1949-1999), UGM, Yogyakarta, 1999, halaman 2-5.

[ii][ii] Lihat Almanak IAIN Sunan Kalijaga, 1988. Untuk lebih jelasnya lihat H. A. Soetjipto dan Agussalim Sitompul, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah (Yogyakarta: Lembaga Pengabdian pada Masyarakat IAIN Sunan Kalijaga, 1986), halaman 11-50.

Wirjosandjoyo. Dr. Satiman dalam Pedoman Masyarakat No. 15 Tahun IV (1938)

[iii][iii] Di kalangan Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri nampaknya tidak berkembang kesadaran bahwa UGM lahir sebagai pelayanan pendidikan untuk kaum nasionalis, tetapi yang ada ialah bagaimana UGM berperan menawarkan pendidikan nasional. Mungkin juga ini gejala baru. Hal itu dapat dilihat, misalnya, dalam Laporan-laporan Tahunan Rektor UGM Tahun 1997, 1998, 1999. Kalau demikian, kenapa dalam PP tentang pendirian IAIN hal itu secara eksplisit muncul? Mungkin memang demikianlah kelahiran UGM dipandang dari sudut politik Muslim ketika itu, sehingga para pendukung dan konseptor pendirian IAIN terlanjur memasukkan nuansa politik praktis itu ke dalam PP tersebut. Mungkin masih ada pertanyaan lagi, kenapa pemerintah mau saja menandatangani suatu PP tentang pendirian Perguruan Tinggi yang bernuansa politik praktis itu? Hal ini memerlukan penelitian tersendiri.

[iv][iv] Laporan-laporan, halaman 47-49.

[v][v] IAIN Sunan Gunung Djati, Pemikiran dan Pengabdian Prof. K.H. Anwar Musaddad: Memori Ulang Tahun ke 90 (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1999), halaman 42-43.

[vi][vi] H.A. Malik Fajar, “Manajemen Perguruan Tinggi Agama Islam” dalam Sarasehan Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam pada IAIN Sunan Gunung Djati dan PTAIS Jawa Barat (Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1995-6), halaman 95.

[vii][vii] Pada tingkat teoretik dan substansi ilmu pengetahuan, di kalangan pendukung gagasan IAIN menjadi universutas jug ada variasi pendapat yang memandang dari persoalan apa perbedaan universitas yang akan dibentuk itu dengan universitas-universitas yang telah ada. Apakah ada upaya Islamisasi ilmu pengetahuan atau adakah ciri lain adalah perdebatan yang belum selesai.

1 comment:

  1. Blognya bagus Pak,, semoga semakin sukses dengan blognya,,, makin banyak pengunjungnya,,, Makin banyak yang mendapat manfaat dari ilmu yang diberikan.

    Salam Sukses Penuh Cinta

    ReplyDelete